Sabtu, 17 September 2011

Perubahan Kurikulum

Pendahuluan
Kurikulum merupakan alat yang sangat penting bagi keberhasilan suatu pendidikan. Tanpa kurikulum yang sesuai dan tepat akan sulit untuk mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang diinginkan. Dalam sejarah pendidikan di Indonesia sudah beberapa kali diadakan perubahan dan perbaikan kurikulum yang tujuannya sudah tentu untuk menyesuaikannya dengan perkembangan dan kemajuan zaman, guna mencapai hasil yang maksimal.
 Dengan demikian kurikulum merupakan alat penting dalam proses pendidikan, sebagai alat yang penting untuk mencapai tujuan, kurikulum hendaknya berperan dan bersifat anticiptatory dan adaptif terhadap perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurikulum juga sering dibedakan antara kurikulum sebagai rencana (curriculum planning) dengan kurikulum yang fungsional (functional curriculum). Kurikulum bukan hanya meruapakn rencana tertulis bagi pengajaran, melainkan sesuatu yang fungsional yang beroperasi dalam kelas, yang memberi pedoman dan mengatur lingkungan kegiatan yang berlangsung didalam kelas. Rencana tertulis merupakan dokumen kurikulum, sedangkan yang diopersikan di kelas merupakan kurikulum fungsional.
Oleh karena itu adalah wajar bila kurikulum selalu berubah dan berkembang sesuai dengan yang berubah dan dikembangkan itu agar dapat sesuai dengan apa yang diharapkan maka perlu adanya orang-orang yang memiliki kemamuan dasar teoritis tentang pengembangan kurikulum yang memadai, khususnya dari kalangan para ilmuan yang berkecimpung dalam prosses pendidikan. Pihak yang terlibat langsung dalam proses pengembangan kurikulum juga harus menguasai secara mendalam teori pengembangan kurikulum tersebut, sehingga pada saatnya diharapkan dapat menerapkannya dalam praktek secara baik. Disamping itu, guru melakukan kegiatan / usaha perubahan. Juga dituntut melakukan pembaharuan jika perlu, hal inilah yang biasa disebut inovasi. Inovasi ini dilakukan apabila guru benar-benar memiliki keyakinan bahwa pembaharuan itu memang harus dilakukan dan diperlukan.
Keluarga Berencana (KB) oleh masyarakat pada era 1980-an dan keberadaannya kini menjadi proaktif bahkan lebih dari itu bahwa KB telah menjadi kebutuhan masyarakat. Selanjutnya, nuansa lain yang terlihat dari kelompok masyarakat adalah perubahan kurikulum pendidikan 1984 (CBSA) dengan penambahan suplemen pada kurikulum tersebut pada tahun 1994, kemudian keinginan yang terus menerus untuk peningkatan mutu pendidikan Indonesia sehingga memungkinkan kembali perubahan kurikulum dilakukan dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi KBK (2004).
Mungkin puluhan pertanyaan yang muncul dari masyarakat tentang teori pertukaran akan tetapi diperlukan pembatasan yang akurat sehingga dapat berpengaruh terhadap proses pembelajaran masa kini dan mendatang dalam kelompok masyarakat. Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku (current curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak relevan lagi dengan tuntutan dan perkembangan jaman dan setiap perubahan akan mengandung resiko dan konsekuensi tertentu.
Perubahan kurikulum yang berskala nasional memang kerapkali mengundang sejumlah pertanyaan dan perdebatan, mengingat dampaknya yang sangat luas serta mengandung resiko yang sangat besar, apalagi kalau perubahan itu dilakukan secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat serta tanpa dasar yang jelas. Perubahan-perubahan kurikulum itu berlangsung dalam konteks perkembangan masyarakat dan pendidikan nasional. Perubahan itu sendiri adalah peristiwa-peristiwa yang dilihat secara system berhubungan erat dengan peristiwa-persitiwa lain dalam lingkungan sistem (masyarakat dan pendidikan nasional).


Pembahasan

2.1.       Pengertian Kurikulum
Istilah Kurikulum pertama kali muncul dalam kamus Webster pada tahun 1856. Dalam bahasa latin currerre. Currerre berarti “lapangan pertandingan” (race course) yaitu arena tempat peserta didik berlari untuk mencapai finish, Baru pada tahun 1955 istilah kurikulum dipakai dalam bidamg pendidikan. Bila ditelusuri ternyata kurikulum mempunyai berbagai macam arti, yaitu:
1.      Kurikulum diartikan sebagai rencana pelajaran.
2.      Pengalaman belajar yang diperoleh murid dari sekolah.
3.      Rencana belajar murid.
Beberapa defenisi Kurikulum menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut :
1.      J. Galen Saylor dan William M. Alexander dalam buku Curriculum Planningfor Better Teaching and Learning (1956) menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut. "The Curriculum is the sum total of school's efforts to influencelearning, whether in the clasroom, on the playground, or out of school." Jadi segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar, apakah dalam ruangan kelas, di halaman sekolah atau di luar sekolah termasuk kurikulum. Kurikulum meliputi juga apa yang disebut kegiatan ekstra-kurikuler.
2.      Harold B. Albertycs. dalam Reorganizing the High-School Curriculum (1965) memandang kurikulum sebagai "all of the activities that are provided for students by the school". Seperti halnya dengan definisi Saylor dan Alexander, kurikulum tidak terbatas pada mata pelajaran, akan tetapi juga meliputi kegiatan-kegiatan lain, di dalam dan luar kelas, yang berada di bawah tanggungjawab sekolah. Definisi melihat manfaat kegiatan dan pengalaman siswa di luar mata pelajaran tradisional.
3.      B. Othanel Smith, W.O. Stanley, dan J. Harlan Shores memandang kurikulum sebagai "a sequence of potential experiences set up in the school for thepurpose of disciplining children and youth in group ways of thinking andacting". Mereka melihat kurikulum sebagai sejumlah pengalaman yang secara potensial dapat diberikan kepada anak dan pemuda, agar mereka dapat berpikir dan berbuat sesuai dengan masyarakatnya.
4.      William B. Ragan, dalam buku Modern Elementary Curriculum (1966)menjelaskan arti kurikulum sebagai berikut:
"The tendency in recent decadeshas ben to use the term in a broader sense to refer to the whole life andprogram of the school. The term is used ... to include all the experiences of children for which the school accepts responsibility. It denotes the results of efferorts on the part of the adults of the community, and the nation to bring tothe children the finest, most whole some influences that exist in the culture."
Ragan mengunakan kurikulum dalam arti yang luas, yang meliputi seluruh program dan kehidupan dalam sekolah, yakni segala pengalaman anak di bawah tanggungjawab sekolah. Kurikulum tidak hanya meliputi bahan pelajaran tetapi meliputi seluruh kehidupan dalam kelas. Jadi hubungan sosial antara guru dan murid, metode mengajar, cara mengevaluasi termasuk kurikulum.
5.      J. Lloyd Trump dan Delmas F. Miller dalam buku Secondary Schoollmprovemant (1973) juga menganut definisi kurikulum yang luas. Menurut mereka dalam kurikulum juga termasuk metode mengajar dan belajar, cara mengevaluasi murid dan seluruh program, perubahan tenaga mengajar, bimbingan dan penyuluhan, supervisi dan administrasi dan hal-hal struktural mengenai waktu, jumlah ruangan serta kemungkinan memilih mata pelajaran. Ketiga aspek pokok, program, manusia dan fasilitas sangat erat hubungannya, sehingga tak mungkin diadakan perbaikan kalau tidak diperhatikan ketiga-tiganya.
6.      Hilda Taba dalam bukunya “Curriculum Development, Theory and Practive”, mengartikan kurikulum sebagai “a plan for learning”, yakni sesuatu yang direncanakan untuk dipelajari oleh anak-anak. Apa yang harus dilakukan anak dalam belajar haruslah direncanakan dengan baik.
Sebagai akhir dan uraian tentang kurikulum dan realisasi kurikulum berdasarkan rumusan secara yuridis berdasarkan  UU No.2 tahun 1989 kurikulum yaitu seperangkat rencana dan peraturan, mengenai isi dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan dalam menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar.
Banyak pendapat mengenai definis kurikulum, namun inti kurikulum sebenarnya adalah pengalaman belajar yang banyak kaitannya dengan melakukan berbagai kegiatan, interaksi sosial, di lingkungan sekolah, proses kerja sama dengan kelompok, bahkan interaksi dengan lingkungan fisik seperti gedung sekolah dan ruang sekolah. Dengan demikian pengalaman itu bukan sekedar mempelajari mata pelajaran, tetapi yang terpenting adalah pengalaman kehidupan.

2.2.       Perubahan Kurikulum
Mengenai makna perubahan kurikulum, bila kita bicara tentang perubahan kurikulum, kita dapat bertanya dalam arti apa kurikulum digunakan. Kurikulum dapat dipandang sebagai buku atau dokumen yang dijadikan guru sebagai pegangan dalam proses belajar mengajar. Kurikulum dapat juga dilihat sebagai produk yaitu apa yang diharapkan dapat dicapai siswa dan sebagai proses untuk mencapainya, keduanya saling berkaitan. Kurikulum dapat juga diartikan sebagai sesuatu yang hidup dan berlaku selama jangka waktu tertentu dan perlu di revisi secara berkala agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Selanjutnya kurikulum dapat ditafsirkan sebagai apa yang dalam kenyataan terjadi dengan murid didalam kelas. Kurikulum dalam arti ini tak mungkin direncanakan sepenuhnya betapapun rincinya dirrencanakan, karena dalam interaksi dalam kelas selalu timbul hal-hal yang spontan dan kreatif yang tak dapat diramalkan sebelumnya. Dalam hal ini guru lebih besar kesempatannya menjadi pengembang kurikulum dalam kelasnya. Akhirnya kurikulum dapat dipandang sebagai cetusan jiwa pendidik yang berusaha untuk mewujudkan cita-cita, nilai-nilai yang tertinggi dalam kelakuan anak didiknya. Kurikulum ini sangat erat hubungannya dengan kepribadian guru.
Kurikulum yang formal mengubah pedoman kurikulum, relatif lebih terbatas dari pada kurikulum yang riil. Kurikulum yang riil bukan sekedar buku pedoman, melainkan segala sesuatu yang dialami anak dalam kelas, ruang olahraga, warung sekolah, tempat bermain, karya wisata, dan banyak kegiatan lainnya, pendek kata mengenai seluruh kehidupan anak sepanjang bersekolah. Mengubah kurikulum dalam arti yang luas ini jauh lebih luas dan dengan demikian lebih pelik, sebab menyangkut banyak variabel. Perubahan kurikulum disini berarti mengubah semua yang terlibat didalamnya, yaitu guru sendiri, murid, kepala sekolah, pemilik sekolah juga orang tua dan masyarakat umumnya yang berkepentingan dalam pendidikan sekolah. Dalam hal ini dikatakan, bahwa perubahan kurikulum adalah perubahan sosial (curriculum change is social change). Perubahan kurikulum didasari pada kesadaran bahwa perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh perubahan global, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan budaya. Perubahan secara terus menerus ini menuntut perlunya perbaikan sistem pendidikan nasional, termasuk penyempurnaan kurikulum untuk mewujudkan masyarakat yang mampu bersaing dan menyesuaikan diri dengan perubahan.
Perubahan kurikulum yang terjadi di indonesia dewasa ini salah satu diantaranya adalah karena ilmu pengetahuan itu sendiri selalu tidak tetap. Selain itu, perubahan tersebut juga dinilainya dipengaruhi oleh kebutuhan manusia yang selalu berubah juga pengaruh dari luar, dimana secara menyeluruh kurikulum itu tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi oleh ekonomi, politik, dan kebudayaan. Sehingga dengan adanya perubahan kurikulum itu, pada gilirannya berdampak pada kemajuan bangsa dan negara. Kurikulum pendidikan harus berubah tapi diiringi juga dengan perubahan dari seluruh masyarakat pendidikan di Indonesia yang harus mengikuti perubahan tersebut, karena kurikulum itu bersifat dinamis bukan stasis, kalau kurikulum bersifat statis maka itulah yang merupakan kurikulum yang tidak baik. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis mencoba membahas permasalahan yang dihadapi dalam mencari alternatif jawaban ataupun solusi yang bisa dipecahkan bersama sehingga dapat terwujud pemahaman mengenai perubahan kurikulum.
            Menurut para ahli sosiologi, perubahan terjadi dalam tiga fase, yakni :
1.      Fase Faseinisiasi, yaitu taraf permulaan ide perubahan itu dilancarkan, dengan menjelaskan sifatnya, tujuan, dan luas perubahan yang ingin dicapai.
2.      Fase Legitimasi, saatnya orang menerima ide itu dan
3.      Fase Kongruensi, saat orang mengadopsinya, menyamakan pendapat sehingga selaras dengan pikiran para pencetus.
Sehingga tidak terdapat perbedaan nilai lagi antara penerima dan pencetus perubahan. Perubahan akan lebih berhasil, bila dari pihak guru dirasakan kekurangan dalam keadaan, sehingga timbul hasrat untuk memperbaikinya demi kepentingan bersama. Akan tetapi karena prosedur ini makan waktu dan tenaga yang banyak, dan selain itu diinginkan perubahan yang uniform di semua sekolah, maka sering dijalankan cara otoriter, indoktrinatif, tanpa mengakui kemampuan guru untuk berpikir sendiri dan hanya diharuskan menerima saja.
Perubahan kurikulum tak akan dapat dilaksanakan tanpa perubahan pada guru sendiri. Setiap perubahan akan dapat mengganggu ketenteramannya. Guru cenderung bersifat konservatif, sebab tugasnya terutama untuk melestarikan kebudayaan dengan menyampaikannya kepada generasi muda. Namun apabila ia merasa ketidakpuasan dengan keadaan, maka ia mencari cara baru untuk mengatasi kekurangan yang dirasakannya pada dirinya dan dalam situasi pendidikan. Bila ia memperoleh informasi melalui ceramah atau bacaan, maka ia dapat memperoleh pandangan baru tentang pendidikan.

2.2.1.     Jenis-Jenis Perubahan
Menurut Soetopo dan Soemanto (1991:39-40), Perubahan kurikulum dapat bersifat sebagian-sebagian, tapi dapat pula bersifat menyeluruh.
1)        Perubahan Sebagian-sebagian.
Perubahan yang terjadi hanya pada komponen (unsur) tentu saja dari kurikulum kita sebut perubahan yang sebagian-sebagian. Perubahan dalam metode mengajar saja, perubahan dalam itu saja, atau perubahan dalam sistem penilaian saja, adalah merupakan contoh dari perubahan sebagian-sebagian.
Dalam perubahan sebagian-sebagian ini, dapat terjadi bahwa perubahan yang berlangsung pada komponen tertentu sama sekali tidak berpengaruh terhadap komponen yang lain. Sebagai contoh, penambahan satu atau lebih bidang studi kedalam suatu kurikulum dapat saja terjadi tanpa membawa perubahan dalam cara (metode) mengajar atau sistem penilaian dalam kurikulum tersebut.
2)        Perubahan Menyeluruh.
Disamping secara sebagian-sebagian, perubahan suatu kurikulum dapat saja terjadi secara menyeluruh, artinya keseluruhan sistem dari kurikulum tersebut mengalami perubahan mana tergambar baik didalam tujuannya, isinya organisasi dan strategi dan pelaksanaannya. Perubahan dari kurikulum 1968 menjadi kurikulum 1975 dan 1976 lebih merupakan perubahan kurikulum secara menyeluruh. Demikian pula kegiatan pengembangan kurikulum sekolah pembangunan mencerminkan pula usaha perubahan kurikulum yang bersifat menyeluruh. Kurikulum 1975 dan 1976 misalnya; pengembangan, tujuan, isi, organisasi dan strategi pelaksanaan yang baru dan dalam banyak hal berbeda dari kurikulum sebelumnya.

2.2.2.     Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan kurikulum
Menurut Soetopo dan Soemanto (1991:40-41), ada sejumlah faktor yang dipandang mendorong terjadinya perubahan kurikulum pada berbagai Negara dewasa ini, diantaranya;
Pertama, bebasnya sejumlah wilayah tertentu di dunia ini dari kekuasaan kaum kolonialis. Dengan merdekanya Negara-negara tersebut, mereka menyadari bahwa selama ini mereka telah dibina dalam suatu sistem pendidikan yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita nasional merdeka. Untuk itu, mereka mulai merencanakan adanya perubahan yang cukup penting di dalam kurikulum dan sistem pendidikan yang ada.
Kedua, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat sekali. Di satu pihak, perkembangan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang diajarkan di sekolah menghasilkan diketemukannya teori-teori yang lama. Di lain pihak, perkembangan di dalam ilmu pengetahuan psikologi, komunikasi, dan lain-lainnya menimbulkan diketemukannya teori dan cara-cara baru di dalam proses belajar mengajar. Kedua perkembangan di atas, dengan sendirinya mendorong timbulnya perubahan dalam isi maupun strategi pelaksanaan kurikulum.
Ketiga, pertumbuhan yang pesat dari penduduk dunia. Dengan bertambahnya penduduk, maka makin bertambah pula jumlah orang yang membutuhkan pendidikan. Hal ini menyebabkan bahwa cara atau pendekatan yang telah digunakan selama ini dalam pendidikan perlu ditinjau kembali dan kalau perlu diubah agar dapat memenuhi kebutuhan akan pendidikan yang semakin besar. Ketiga faktor di atas itulah yang secara umum banyak mempengaruhi timbulnya perubahan kurikulum yang kita alami dewasa ini.


2.2.3.     Sebab-Sebab Kurikulum Itu Diubah
Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala kurikulum yang berlaku (current curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak relevan lagi dengan tuntutan dan perkembangan jaman dan setiap perubahan akan mengandung resiko dan konsekuensi tertentu. 
Kurikulum itu selalu dinamis dan senantiasa dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dalam faktor-faktor yang mendasarinya. Tujuan pendidikan dapat berubah secara fundamental, bila suatu negara beralih dari negara yang dijajah menjadi negara yang merdeka. Dengan sendirinya kurikulum pun harus mengalami perubahan yang menyeluruh.
Kurikulum juga diubah bila tekanan dalam tujuan mengalami pergeseran. Misalnya pada tahun 30-an sebagai pengaruh golongan progresif di USA tekanan kurikulum adalah pada anak, sehingga kurikulum mengarah kepada child-centered curriculum sebagai reaksi terhadap subject-centered curriculum yang dianggap terlalu bersifat adult and society-centered. Pada tahun 40-an, sebagai akibat perang, asas masyarakatlah yang diutamakan dan kurikulum menjadi lebih society-centered.
Pada tahun 50-an dan 60-an, sebagai akibat sputnik yang menyadarkan Amerika Serikat akan ketinggalan dalam ilmu pengetahuan, para pendidik lebih cenderung kepada kurikulum yang discipline-centered, yang mirip kepada subject-centered curriculum. Tampaknya seakan-akan orang kembali lagi kepada titik semula. Akan tetapi, lebih tepat, bila kita katakan, bahwa perkembangan kurikulum seperti spiral, tidak sebagai lingkaran, jadi kita tidak kembali kepada yang lama tetapi pada suatu titik di atas yang lama.
Kurikulum dapat pula mengalami perubahan bila terdapat pendirian baru mengenai proses belajar, sehingga timbul bentuk-bentuk kurikulum seperti activity or experience curriculum, programmed instruction, pengajaran modul, dan sebagainya. Perubahan dalam masyarakat, eksplosi ilmu pengetahuan dan lain-lain mengharuskan adanya perubahan kurikulum. Perubahan-perubahan itu menyebabkan kurikulum yang berlaku tidak lagi relevan, dan ancaman serupa ini akan senantiasa dihadapi oleh setiap kurikulum, betapapun relevannya pada suatu saat.
Maka karena itu perubahan kurikulum merupakan hal biasa. Malahan mempertahankan kurikulum yang ada akan merugikan anak-anak dan demikian fungsi kurikulum itu sendiri. Biasanya perubahan satu asas akan memerlukan perubahan keseluruhan kurikulum itu.
Dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan tersebut, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sedang melakukan penyempurnaan kurikulum nasional untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah yang akan diberlakukan pada tahun-tahun mendatang. Upaya penyempurnaan kurikulum ini merupakan respon atas berbagai kritik dan tanggapan terhadap konsep dan implementasi kurikulum 1984, 1994, dan 2004 yang dianggap memiliki beberapa kelemahan dan kekurangan.

2.2.4.     Perubahan-perubahan kurikulum Pendidikan di Indonesia.
1.      Kurikulum Tahun 1947 (Rentjana Pelajaran 1947).
Awalnya pada tahun 1947, kurikulum saat itu diberi nama Rentjana Pelajaran 1947. Pada saat itu, kurikulum pendidikan di Indonesia masih dipengaruhi sistem pendidikan kolonial Belanda dan Jepang, sehingga hanya meneruskan yang pernah digunakan sebelumnya. Rentjana Pelajaran 1947 boleh dikatakan sebagai pengganti system pendidikan kolonial Belanda. Karena suasana kehidupan berbangsa saat itu masih dalam semangat juang merebut kemerdekaan, maka pendidikan sebagai development conformism lebih menekankan pada pembentukan karakter manusia Indonesia yang merdeka dan berdaulat dan sejajar dengan bangsa lain di muka bumi ini.
2.      Kurikulum 1952  (Rentjana Pelajaran Terurai 1952).
Kurikulum ini sudah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional. Hal yang paling menonjol dan sekaligus ciri dari kurikulum 1952 ini bahwa setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
3.      Kurikulum 1964 (Rentjana Pendidikan 1964)
Usai tahun 1952, menjelang tahun 1964, pemerintah kembali menyempurnakan sistem kurikulum di Indonesia dan kali ini diberi nama Rentjana Pendidikan 1964. Pokok-pokok pikiran kurikulum 1964 yang menjadi ciri dari kurikulum ini adalah bahwa pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD, sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana (Hamalik, 2004), yaitu pengembangan moral, kecerdasan, emosional/artistik, keprigelan, dan jasmani.
4.      Kurikulum 1968 (Rencana Pendidikan 1968)
Kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari Kurikulum 1964, yaitu dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 merupakan perwujudan dari perubahan orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama. Isi pendidikan diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat.
5.      Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 sebagai pengganti kurikulum 1968 menggunakan pendekatan- pendekatan di antaranya sebagai berikut. Berorientasi pada tujuan :
§  Pendekatan integrative dalam arti bahwa setiap pelajaran memiliki arti dan peranan yang menunjang kepada tercapainya tujuan-tujuan yang lebih integratif.
§  Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
§  Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Sistem yang senantiasa mengarah kepada tercapainya tujuan yang spesifik, dapat diukur dan dirumuskan dalam bentuk tingkah laku siswa.
§  Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon (rangsang-jawab) dan latihan (drill). Kurikulum 1975 hingga menjelang tahun 1983 dianggap sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat dan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bahkan sidang umum MPR 1983 yang produknya tertuang dalam GBHN 1983 menyiratakan keputusan politik yang menghendaki perubahan kurikulum dari kurikulum 1975 ke kurikulum 1984. Karena itulah pada tahun 1984 pemerintah menetapkan pergantian kurikulum 1975 oleh kurikulum 1984.
6.      Kurikulum 1984 (Kurikulum CBSA)
Ciri-Ciri umum dari Kurikulum CBSA adalah:
·         Berorientasi pada tujuan instruksional.
·         Pendekatan pembelajaran adalah berpusat pada anak didik.
·         Pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
·         Pelaksanaan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
·         Materi pelajaran menggunakan pendekatan spiral, semakin tinggi tingkat kelas semakin banyak materi pelajaran yang di bebankan pada peserta didik.
·        Menanamkan pengertian terlebih dahulu sebelum diberikan latihan. Konsep-konsep yang dipelajari siswa harus didasarkan kepada pengertian, baru kemudian diberikan latihan setelah mengerti. Untuk menunjang pengertian alat peraga sebagai media digunakan untuk membantu siswa memahami konsep yang dipelajarinya.
7.      Kurikulum 1994 Ciri-Ciri Umum Kurikulum 1994
·         Perubahan dari Semester ke Caturwulan (Cawu) - Dari pola pengajaran berorientasi TEORI belajar mengajar menjadi beroreintasi pada MUATAN (Isi)
·         Bersifat populis yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti, sehingga daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
·        Dalam pelaksanaan kegiatan, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi yang melibatkan siswa aktif dalam belajar, baik secara mental, fisik, dan sosial. Dalam mengaktifkan siswa guru dapat memberikan bentuk soal yang mengarah kepada jawaban konvergen, divergen (terbuka, dimungkinkan lebih dari satu jawaban), dan penyelidikan.
8.      Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Kurikulum Berbasis Kompetensi memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
·        Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
·         Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
·         Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
·         Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
·        Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
9.      Kurikulum 2006 (KTSP Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
Secara Substansial, pemberlakuan (baca: penamaan) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) lebih kepada mengimplementasikan regulasi yang ada, yaitu PP No. 19/2005. Akan tetapi, esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya paket-paket kompetensi (dan bukan pada tuntas tidaknya sebuah subject matter), yaitu:
·        Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal.
·        Berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
·        Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi.
·        Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
·        Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi. Terdapat perbedaan mendasar dibandingkan dengan kurikulum berbasis kompetensi sebelumnya (versi 2002 dan 2004), bahwa sekolah diberi kewenangan penuh menyusun rencana pendidikannya dengan mengacu pada standar-standar yang telah ditetapkan, mulai dari tujuan, visi misi, struktur dan muatan kurikulum, beban belajar, kalender pendidikan, hingga pengembangan silabusnya.
Pergantian kurikulum adalah suatu keniscayaan yang harus diberlakukan untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perilaku dan metode pngajaran yang setiap saat terus berkembang. Untuk menyikapi pergantian kurikulum maka yang harus disiapkan adalah: Kesiapan dari guru itu sendiri (apapun kurikulumya apabila guru memahami akan esensi dari kurikulum maka tidak akan terjadi permasalahan), kesiapan sekolah, kesiapan pemerintah dan kesiapan stake holder pendidikan.
Perubahan kurikulum ini juga paralel dengan diterapkannya otonomi pendidikan di tingkat kabupaten dan kota, serta pendekatan manajemen berbasis sekolah (school-based management) dan pendidikan berbasis masyarakat (community-based education).
Dengan demikian, hendaknya dipahami lebih jauh kedepan yang tidak hanya sekedar penyesuaian substansi materi dan format kurikulum dengan tuntutan perkembangan, tetapi pergeseran paradigma (paradigm shift) dari pendekatan pendidikan yang berorientasi masukan (input-oriented education) ke pendekatan pendidikan berorientasi hasil atau standard (outcome-based eduation). Memang benar bahwa perubahan kurikulum itu selalu mengundang gejolak baik ditingkat sekolah maupun pada tingkat orang tua. Dengan berubahnya kurikulum, maka para pendidik harus menyesuaikan wawasan/acuan dengan kurikulum baru, harus mempelajari kembali pengemasannya dalam kegiatan instruksional dan selanjutnya diikuti oleh buku-buku paket.
Jelas bahwa keinginan manusia selalu berubah kearah yang lebih maju baik tatanan dari segi material maupun mental. Dari segi material manusia butuh kecukupan barang-barang keperluan dalam kehidupan yang intinya sebagai sarana interaksi antar kelompok manusia. Sementara kebutuhan mental ialah kepuasan manusia memiliki kecapakan intelektualitas sehingga mampu meningkatkan dan pengembangan budaya yang canggih. Pengetahuan menjadi sarana untuk mencapai kemajuan budaya. Tentu saja pengetahuan akan menjadi baik apabila kualitas pendidikan itu sendiri meningkat. Jadi, perubahan kurikulum berarti akan memberi solusi yang terbaik terhadap perubahan kualitas pendidikan dalam masyarakat. Keuntungannya ialah apabila perubahan sistematika pendidikan telah benar-benar baik, maka secara sosial kemasyarakatan akan membawa manfaat yang baik terhadap generasi selanjutnya paling tidak keterampilan pemeran mampu beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat dalam lingkungannya sendiri.
Perubahan dan pergantian kurun waktu tidak terlepas dari untung rugi baik dari segi material maupun pikiran. Akan tetapi prinsip dasar yang sangat perlu diharapkan adalah perubahan sistem pembelajaran dari pola lama yang pasif hanya membidik siswa bersikap “menerimo” atau “nggeh ndoro” sementara model PBM baru mampu menciptakan suasana pembelajar menjadi aktif, kreatif, efektif dan mampu melakukan pengalaman belajarnya secara mandiri. Jadi, pilihan hanya ada satu yaitu pengembangan yang maju dan berkualitas dalam pendidikan yang berbasis kepada keberagaman masyarakat dan kebudayaan.

2.2.5.     Kesulitan-Kesulitan Dalam Perubahan Kurikulum
Sejarah menunjukkan bahwa sekolah itu sangat sukar menerima pembaharuan. Ide yang baru tentang pendidikan memerlukan waktu sekitar 75 tahun sebelum dipraktikan secara umum di sekolah-sekolah. Manusia itu pada umumnya bersifat konservatif dan guru termasuk golongan itu juga. Guru-guru lebih senang mengikuti jejak-jejak yang lama secara rutin. Ada kalanya karena cara yang demikianlah yang paling mudah dilakukan. Mengadakan pembaharuan memerlukan pemikiran dan tenaga yang lebih banyak. Tak semua orang suka bekerja lebih banyak daripada yang diperlukan. Akan tetapi ada pula kalanya, bahwa guru-guru tidak mendapat kesempatan atau wewenang untuk mengadakan perubahan karena peraturan-peraturan administratif. Guru itu hanya diharapkan mengikuti instruksi atasan.
Pembaharuan kurikulum kadang-kadang terikat pada tokoh yang mencetuskannya. Dengan meninggalnya tokoh itu lenyap pula pembaharuan yang telah dimulainya itu.Dalam pembaharuan kurikulum ternyata bahwa mencetuskan ide-ide baru lebih “mudah” daripada menerapkannya dalam praktik. Sekalipun telah dilaksanakan sebagai percobaan, masih banyak mengalami rintangan dalam penyebarluasannya,  oleh sebab harus melibatkan banyak orang dan mungkin memerlukan perubahan struktur organisasi dan administrasi sistem pendidikan.
Pembaharuan kurikulum sering pula memerlukan biaya yang lebih banyak untuk fasilitas dan alat-alat pendidikan baru, yang tidak selalu dapat dipenuhi. Tak jarang pula pembaharuan ditentang oleh mereka yang ingin berpegang pada yang sudah lazim dilakukan atau yang kurang percaya akan yang baru sebelum terbukti kelebihannya. Bersifat kritis terhadap pembaharuan kurikulum adalah sifat yang sehat, karena pembaharuan itu jangan hanya sekedar mode yang timbul pada suatu saat untuk lenyap lagi dalam waktu                            yang tidak lama.

2.2.6.     Perubahan dan Perbaikan Kurikulum
Perubahan tak selalu sama dengan perbaikan, akan tetapi perbaikan selalu mengandung perubahan. Perbaikan berarti meningkatkan nilai atau mutu. Perubahan adalah pergeseran posisi, kedudukan atau keadaan yang mungkin membawa perbaikan, akan tetapi dapat juga memperburuk keadaan. Anak yang mula-mula tak mengenal ganja, dapat berubah menjadi anak yang mengenalnya lalu terlibat dalam kejahatan. Perubahan di sini tidak membawa perbaikan. Namun demikian sering diadakan perubahan dengan maksud terjadinya perbaikan. Perbaikan selalu dikaitkan dengan penilaian. Perbaikan diadakan untuk meningkatkan nilai, dan untuk mengetahuinya digunakan kriteria tertentu. Perbedaan kriteria akan memberi perbedaan pendapat tentang baik-buruknya perubahan itu.
Perubahan, sekalipun memberi perbaikan dalam segala hal bagi semua orang. Dalam bidang kurikulum kita lihat betapa banyaknya ide dan usaha perbaikan kurikulum yang dicetuskan oleh berbagai tokoh pendidikan yang terkenal. Macam-macam kurikulum telah diciptakan dan banyak di antaranya telah dijalankan. Apa yang mula-mula diharapkan, akhirnya ternyata menimbulkan masalah lain, sehingga kurikulum itu ditinggalkan atau diubah. Ada masanya pelajaran akademis yang diutamakan, kemudian tampil anak sebagai pusat kurikulum, sesudah itu yang dipentingkan ialah masyarakat, akan tetapi timbul pula perhatian baru terhadap pengetahuan akademis. Namun demikian, dalam sejarah pendidikan, tak pernah sesuatu kembali dalam bentuk aslinya. Biasanya yang lama itu timbul dalam bentuk yang agak lain, pada taraf yang lebih tinggi. Misalnya, bila dalam pelajaran akademis diutamakan hafalan fakta dan informasi, kemudian diutamakan prinsip-prinsip utama.
Bila pada ketika kurikulum sepenuhnya dipusatkan pada anak, kemudian disadari bahwa tak dapat anak hidup di luar masyarakat. Disadari bahwa dalam kurikulum tak dapat diutamakan hanya satu aspek saja, akan tetapi semua aspek : anak, masyarakat, maupun pengetahuan secara berimbang.

2.3.       Langkah-langkah pengembangan Kurikulum
Pegembangan kurikulum meliputi empat langkah, yaitu merumuskan tujuan pembelajaran (instructional objective), menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar (selection of learning experiences), mengorganisasi pengalaman-pegalaman belajar (organization of learning experiences) dan mengevaluasi (evaluating).

2.3.1.      Merumuskan Tujuan Pembelajaran (Instructional Objective)
Terdapat tiga tahap dalam merumuskan tujuan pembelajaran. Tahap yang pertama yang harus diperhatikan dalam merumuskan tujuan adalah memahami tiga sumber, yaitu siswa (source of student), masyarakat (source of society), dan  konten (source of content). Tahap kedua adalah merumuskan tentative general objective atau standar kompetensi (SK) dengan memperhatikan landasan sosiologi (sociology), kemudian di-screen melalui dua landasan lain dalam pengembangan kurikulum yaitu landasan filsofi pendidikan (philosophy of learning) dan psikologi belajar (psychology of learning), dan tahap terakhir adalah merumuskan precise education atau kompetensi dasar (KD).

2.3.2.      Merumuskan dan Menyeleksi Pengalaman-Pengalaman Belajar (Selection Of Learning Experiences)
Dalam merumuskan dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar dalam pengembangan kurikulum harus memahami definisi pengalaman belajar dan landasan psikologi belajar (psychology of learning). Pengalaman belajar merupakan bentuk interaksi yang dialami atau dilakukan oleh siswa yang dirancang oleh guru untuk memperoleh pengetahuan dan ketrampilan. Pengalaman belajar yang harus dialami siswa sebagai learning activity menggambarkan interaksi siswa dengan objek belajar. Belajar berlangsung melalui perilaku aktif siswa; apa yang ia kerjakan adalah apa yang ia pelajari, bukan apa yang dilakukan oleh guru. Dalam merancang dan menyeleksi pengalaman-pengalaman belajar juga memperhatikan psikologi belajar.
Ada lima prinsip umum dalam pemilihan pengalaman belajar. Kelima prinsip tersebut adalah:
1.      Pengalaman belajar yang diberikan ditentukan oleh tujuan yang akan dicapai.
2.      Pengalaman belajar harus cukup sehingga siswa memperoleh kepuasan dari pengadaan berbagai macam perilaku yang diimplakasikan oleh sasaran hasil,
3.      Reaksi yang diinginkan dalam pengalaman belajar memungkinkan bagi siswa untuk mengalaminya (terlibat).
4.      Pengalaman belajar yang berbeda dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sama, dan;
5.      Pengalaman belajar yang sama akan memberikan berbagai macam keluaran (outcomes).


2.3.3.      Mengorganisasi Pengalaman Pengalaman Belajar (Organization Of Learning Experiences)
Pengorganisasi atau disain kurikulum diperlukan untuk memudahkan anak didik untuk belajar. Dalam pengorganisasian kurikulum tidak lepas dari beberapa hal penting yang mendukung, yakni: tentang teori, konsep, pandangan tentang pendidikan, perkembangan anak didik, dan kebutuhan masyarakat. Pengorganisasian kurikulum bertalian erat dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Oleh karena itu kurikulum menentukan apa yang akan dipelajari, kapan waktu yang tepat untuk mempelajari, keseimbangan bahan pelajaran, dan keseimbangan antara aspek-aspek pendidikan yang akan disampaikan.
a.       Jenis Pengorganisasian Kurikulum
Pengorganisasian kurikulum terdiri atas beberapa jenis, yakni: (1) Kurikulum berdasarkan mata pelajaran (subject curriculum) yang mencakup mata pelajaran terpisah-pisah (separate subject curriculum), dan mata pelajaran gabungan (correlated curriculum). (2) Kurikulum terpadu (integrated curriculum) yang berdasarkan fungsi sosial, masalah, minat, dan kebutuhan, berdasarkan pangalaman anak didik, dan (3) berdasarkan kurikulum inti (core curriculum).
Tujuan dari kurikulum ini untuk mempermudah anak didik mengenal hasil kebudayaan dan pengetahuan umat manusia tanpa perlu mencari dan menemukan kembali dari apa yang diperoleh generasi sebelumnya. Sehingga anak didik dapat membekali diri dalam menghadapi masalah-masalah dalam hidupnya. Dengan pengetahuan yang sudah dimiliki dan telah tersusun secara logis dan sistematis tidak hanya untuk memperluas pengetahuan tetapi juga untuk untuk memperoleh cara-cara berpikir disiplin tertentu.
Keuntungan kurikulum ini, antara lain: (1) memberikan pengetahuan berupa hasil pengalaman generasi masa lampau yang dapat digunakan untuk menafsirkan pengalaman seseorang. (2) mempunyai organisasi yang mudah strukturnya. (3) mudah dievaluasi terutama saat ujian nasional akan mempermudah penilaian. (4) merupakan tuntutan dari perguruan tinggi dalam penerimaan mahasiswa baru. (5) memperoleh respon positif karena mudah dipahami oleh guru, orangtua, dan siswa. (6) mengandung logika sesuai dengan disiplin ilmunya. Kelemahan kurikulum berdasarkan mata pelajaran antara lain: terlalu fragmentasi, mengabaikan bakat dan minat siswa, penyusunan kurikulumnya menjadi tidak efisien, dan mengabaikan masalah sosial.
Ø  Corelated Curriculum
Kurikulum ini merupakan modifikasi kurikulum mata pelajaran. Agar pengetahuan anak tidak terlepas-lepas maka perlu diusahakan hubungan antara dua mata pelajaran atau lebih yang dapat dipandang sebagai kelompok namun masih mempunyai hubungan yang erat. Sebagai contoh, saat mengajarkan sejarah ada beberapa mata pelajaran yang berkaitan seperti geografi, sosiologi, ekonomi, antropologi, dan psikologi. Dan mata pelajaran yang digabungkan tersebut menjadi ‘broad field’. Namun demikian tidak bisa mengenyampingkan tujuan instruksionalnya atau yang sekarang lebih dikenal dengan kompetensi dasar, prinsip-prinsip umum yang mendasari, teori atau masalah di sekitar yang dapat mewujudkan gabungan itu secara wajar. Dengan menggunakan kurikulum gabungan diharapkan akan mencegah penguasaan bahan yang terlalu banyak sehingga akan menjadi dangkal dan lepas-lepas sehingga pada gilirannya akan mudah dilupakan dan tidak fungsional. Pada praktiknya kurikulum gabungan ini kurang dipahami para guru sehingga walaupun namanya ‘broad-field’ pada hakikatnya tetap separate subject-centered.
Ø  Integrated Currikulum
Kurikulum terpadu mengintegrasikan bahan pelajaran dari berbagai matapelajaran. Integrasi ini dapat tercapai bila memusatkan pelajaran pada masalah tertentu yang memerlukan pemecahan dari berbagai disiplin ilmu. Sehingga bahan mata pelajaran dapat difungsikan menjadi alat untuk memecahkan masalah. Dan batas-batas antara mata pelajaran dapat ditiadakan. Pengorganisasian kurikulum terpadu ini lebih banyak pada kerja kelompok dengan memanfaatkan masyarakat dan lingkungan sebagai nara sumber, memperhatikan perbedaan individual, serta melibatkan para siswa dalam perencanaan pelajaran. Selain memperoleh sejumlah pengetahuan secara fungsional, kurikulum ini mengutamakan pada proses belajarnya. Kurikulum ini fleksibel, artinya tidak mengharapkan hasil belajar yang sama dengan siswa yang lain. tanggungjawab pengembangannya ada pada guru, orangtua, dan siswa.
Ø  Core Curriculum
Munculnya kurikulum inti ini adalah atas dasar pemikiran bahwa pendidikan memberikan tekanan kepada dua aspek yang berbeda, yakni: (1) adanya reaksi terhadap mata pelajaran teori yang bercerai-berai yang mengakumulasi bahan dan pengetahuan. (2) Adanya perubahan konsep tentang peranan sosial pendidikan di sekolah.
Dengan demikian, kurikulum inti memberikan tekanan pada keperluan sosial yang berbeda terutama pada persoalan dan fungsi sosial. Sehingga konsep kurikulum inti bersifat ‘society centered’, dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) penekanan pada nilai-nilai sosial, (2) struktur kurikulum inti ditentukan oleh problem sosial dan per-kehidupan sosial, (3) pelajaran umum diperuntukkan bagi semua siswa, (4) aktivitas direncanakan oleh guru dengan siswa secara kooperatif.
b.      Kriteria Pengorganisasian Pengalaman Belajar yang Efektif
Terdapat tiga kriteria utama dalam mengorganisasi pengalaman belajar, yaitu: 
Ø  Kontinuitas (continuity). Kriteria kontinuitas mengacu pengulangan elemen kurikulum yang penting pada kelas/level yang berbeda. Artinya pada waktu berikutnya pada kelas/level yang lebih tinggi pengetahuan dan skil yang sama akan diajarkan dan dilatihkan kembali dengan dikembangkan sesuai dengan psikologi belajar dan psikologi perkembangan anak.
Ø  Berurutan (sequence). Kriteria berurutan (sequence) adalah berhubungan dengan kontinuitas tetapi lebih ditekankan kepada bagaimana urutan pengalaman belajar diorganisasi dengan tepat pada kelas/level yang sama. Pengetahuan yang menjadi prasyarat akan disajikan sebelum pengetahuan lain yang memerlukan pengetahuan prasyarat tersebut.
Ø  Terpadu (integrity). Kriteria terpadu (integrity) artinya mencakup ruang lingkup/scope pengetahuan dan skill yang diberikan kepada siswa, apabila pengetahuan diperoleh dari berbagai sumber, maka akan dapat saling menghubungkannya, saat menghadapi suatu masalah.
c.       Elemen-elemen yang Diorganisasi
Elemen-elemen yang diorganisasi ada tiga yaitu konsep (concept), nilai (values), dan ketrampilan (skill). Konsep adalah berhubungan konten pengalaman belajar yang harus dialami siswa, nilai adalah berhubungan dengan sikap pebelajar baik terhadap dirinya sendiri maupun sikap pebelajar kepada orang lain. Sedangkan ketrampilan dalam hal ini adalah kemampuan menganalisis, mengumpulkan fakta dan data, kemampuan mengorganisasi an menginterpretasi data, ketrampilan mempresentasikan hasil karya, ketrampilan berfikir secara independen, ketrampilan meganalisis argumen, ketrampilan berpartisipasi dalam kelompok kerja, ketrampilan dalam kebiasaan kerja yang baik, mampu mengiterpretasi situasi, dan mampu memprediksi konsekuesi dari tujuan kegiatan.
d.      Prinsip-prinsip Pengorganisasian
Terdapat dua prinsip dalam mengorganisasikan kurikulum sekolah atau pengalaman belajar. Pengorgaisasian kurikulum harus bersifat kronologis (chronological) dan aplikatif. Kronologis artinya pengalaman belajar harus diorganisasi secara tahap demi tahap sesuai dengan pskologi belajar dan psoikologi perkembangan siswa. Sedangkan aplikatif berarti pengalaman belajar harus benar-benar dapat diterapkan kepada siswa.

2.3.4.      Mengevaluasi Kurikulum (Evaluating Curriculum)
Langkah terakhir dalam pengembangan kurikulum adalah evaluasi. Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan di mana data yang terkumpul dan dibuat pertimbangan untuk tujuan memperbaiki sistem. Evaluasi yang seksama adalah sangat esensial dalam pengembangan kurikulum. Evaluasi dirasa sebagai suatu proses membuat keputusan , sedangkan riset sebagai proses pengumpulan data sebagai dasar pengambilan keputusan.
Perencana kurikulum menggunakan berbagai tipe evaluasi dan riset. Tipe-tipe evaluasi adalah konteks, input, proses, dan produk. Sedagkan tipe-tipe riset adalah aksi, deskripsi, historikal, dan eksperimental. Di sisi lain perencana kurikulum menggunakan evaluasi formatif (proses atau progres) dan evaluasi sumatif (outcome atau produk).
Evaluasi kurikulum merupakan titik kulminasi perbaikan dan pengembangan kurikulum. Evaluasi ditempatkan pada langkah terakhir, evaluasi mengkonotasikan akhir suatu siklus dan awal dari siklus berikutnya. Perbaikan pada siklus berikutnya dibuat berdasarkan hasil evaluasi siklus sebelumnya.

KESIMPULAN

1.      Semakin sering renovasi suplemen kurikulum pendidikan dilakukan semakin mendekati kesempurnaan dalam kegiatan pembelajaran. Dengan demikian harapan melalui teori pertukaran dengan koridor perspektif sosiologi, maka berdampak kepada berubahnya pola tatanan kehidupan masyarakat yang berkualitas pula. Artinya, perubahan yang baik justru akan muncul peningkatan pola pikir positif dari pelaku baik yang mengadakan pertukaran maupun yang menerima.
2.      Pengembangan kurikulum, sebenarnya merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
3.      Pengembangan kurikulum merupakan alat untuk membantu guru melakukan tugasnya dalam mengajar dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
4.      Pengembangan kurikulum tidak pernah berhenti, ia merupakan proses yang berkelanjutan dan proses siklus (pada perubahan-perubahan tujuan, isi, kegiatan dan evaluasi) yang terus menerus sejalan dengan perkembangan dan tuntutan perkembangan masyarakat.






DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar, (1994), Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta, Bumi Aksara.
Mandalika, J, & Mulyadi,  Usman (2004), Dasar-Dasar Kurikulum, Surabaya, Surabaya Intellectual Club (SIC).

Siti Rihlatun Saidah, Umi Firdausi, Husnul Khotimah, Langkah-langkah dalam Pengembangan Kurikulum. Melalui <http://whyfaqoth.blogspot.com/2011/03/langkah-langkah-dalam-pengembangan.html> [18/07/2011]

Dion Eprijum Ginanto, Perjalanan Kurikulum Di Indonesia. Melalui <http://www.scribd. com /doc/ 15072980/Perjalanan-Kurikulum-Di-Indonesia> [22/07/2011]

Ujang Kamiludin, Langkah-langkah Pengembangan Kurikulum. Melalui <http://fdj-indrakurniawan.blogspot.com/2010/05/langkah-langkah-pengembangan-kurikulum.html  [22/07/2011] 








Tidak ada komentar:

Posting Komentar